Saat AI Jadi Teman Curhat, Peneliti Soroti Bahaya Ketergantungan Emosional Chatbot
- Chatbot AI menawarkan kemudahan, namun pakar memperingatkan risiko kecanduan kognitif dan emosional yang dapat memengaruhi fungsi sosial pengguna.

Muhammad Imam Hatami
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID - Penggunaan chatbot berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital masyarakat.
Mulai dari membantu pekerjaan, menjawab pertanyaan akademik, hingga menjadi teman berbincang, chatbot AI menawarkan kemudahan dan respons instan. Namun, di balik manfaat tersebut, para peneliti dan pakar psikologi mulai menyoroti munculnya tanda-tanda kecanduan chatbot AI yang dapat berdampak pada kesehatan mental dan kualitas hidup pengguna.
Dikutip laporan lembaga penelitian (think tank) kebijakan publik asal amerika serikat, The Brookings Institution, Rabu, 16 Desember 2025, menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap chatbot AI umumnya muncul melalui dua pola utama, yakni ketergantungan kognitif dan ketergantungan emosional.
Kedua pola ini berbeda motif, tetapi dapat saling memperkuat dan berujung pada gangguan fungsi sosial serta pengambilan keputusan individu.
Ketergantungan Kognitif
Ketergantungan kognitif ditandai dengan penggunaan AI secara berlebihan untuk kebutuhan efisiensi dan solusi cepat. Dalam pola ini, pengguna mulai mengandalkan chatbot untuk hampir semua keputusan, baik yang bersifat besar maupun sepele.
Contoh paling umum adalah kebiasaan menanyakan AI untuk menentukan pilihan karier, menyusun pesan pribadi, hingga membuat daftar belanja harian. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan kepercayaan diri pengguna terhadap kemampuan berpikir dan menilai secara mandiri.
Gejala lain yang muncul adalah kesulitan menyelesaikan tugas tanpa bantuan AI. Pengguna merasa “blank” atau ragu saat harus menulis email, merangkum dokumen, atau membuat analisis sendiri.
Selain itu, banyak pengguna mulai jarang memverifikasi informasi yang diberikan chatbot, menerima jawaban AI sebagai kebenaran mutlak tanpa pengecekan silang dari sumber lain.
Para ahli menyebut fenomena ini sebagai bentuk cognitive offloading, yakni kecenderungan menyerahkan proses berpikir kepada teknologi, sehingga beban kognitif manusia berkurang tetapi juga berpotensi menurunkan kemampuan analitis jangka panjang.
Baca juga : Strategi UMKM Merespons Kenaikan UMP 2026 Agar Tetap Cuan
Ketergantungan Emosional
Selain aspek kognitif, pola yang tak kalah mengkhawatirkan adalah ketergantungan emosional. Dalam pola ini, chatbot tidak lagi diposisikan sebagai alat bantu, melainkan sebagai sumber dukungan emosional.
Pengguna dalam kategori ini cenderung lebih sering mencurahkan perasaan kepada AI dibandingkan kepada teman, keluarga, atau pasangan. Chatbot dipersepsikan sebagai pendengar yang selalu tersedia, responsif, dan tidak menghakimi.
Beberapa pengguna bahkan mulai menganggap chatbot sebagai “sahabat” atau “teman dekat”, memberi nama khusus, serta merasa memiliki hubungan personal dengan AI.
Gejala lain yang muncul adalah rasa gelisah, cemas, atau kesepian ketika tidak dapat mengakses chatbot, misalnya akibat gangguan internet atau pembatasan penggunaan.
Dalam kondisi tertentu, pengguna bisa terus-menerus memeriksa ponsel hanya untuk berinteraksi dengan AI, terutama saat berada dalam situasi emosional yang rentan atau ketika sendirian.
Baik ketergantungan kognitif maupun emosional dapat berujung pada dampak serius terhadap kehidupan nyata. Salah satu indikator utama adalah berkurangnya interaksi sosial langsung serta pengabaian tanggung jawab sehari-hari.
Pengguna yang mengalami kecanduan berat dilaporkan mulai menjauh dari pertemuan keluarga, mengabaikan pekerjaan, atau menunda tugas akademik demi menghabiskan waktu berinteraksi dengan chatbot.
Dalam beberapa studi, pengguna tertentu bahkan menghabiskan rata-rata hingga 93 menit per hari untuk berkomunikasi dengan AI companion.
Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian pengguna sebenarnya menyadari risiko tersebut, tetapi merasa tidak mampu menghentikan atau mengurangi intensitas penggunaan. Rasa “dipahami” dan “dibantu” oleh AI menjadi faktor yang membuat mereka terus kembali.
Baca juga : Rapor IPO 2025: Volume Sepi, Tapi Saham Konglomerat Terbang Tinggi
Mekanisme Psikologis di Balik Ketergantungan
Penelitian menjelaskan kecanduan chatbot AI bekerja melalui dua jalur psikologis utama. Jalur kognitif didorong oleh kebutuhan instrumental, seperti efisiensi, kecepatan, dan kemudahan akses informasi. AI yang mampu memberikan jawaban instan membuat pengguna terbiasa bergantung secara intelektual.
Sementara itu, jalur afektif dipicu oleh kondisi emosional, seperti kesepian, kecemasan, atau kebutuhan akan teman. Interaksi AI yang konsisten, personal, dan bebas stigma memicu kelekatan emosional, terutama pada individu yang merasa kurang mendapatkan dukungan sosial di dunia nyata.
Data menunjukkan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, menjadi kelompok paling aktif menggunakan chatbot AI. Mahasiswa usia 18–24 tahun tercatat sebagai pengguna terbesar, dengan sebagian kecil di antaranya menganggap chatbot sebagai “sahabat”.
Selain itu, individu dengan tingkat kesepian tinggi atau kebutuhan emosional yang besar juga dinilai lebih rentan. Riset menemukan bahwa loneliness memiliki efek tidak langsung paling kuat dalam mendorong ketergantungan emosional terhadap chatbot.
Para pakar menekankan bahwa penggunaan chatbot AI pada dasarnya tidak berbahaya selama berada dalam batas wajar. Namun, ketika tanda-tanda ketergantungan mulai muncul, pengguna disarankan mengambil langkah preventif.
Beberapa strategi yang direkomendasikan antara lain menetapkan batasan waktu penggunaan harian, meningkatkan interaksi sosial langsung, serta memperlakukan AI sebagai alat bantu, bukan sumber kebenaran mutlak. AI juga dapat diarahkan untuk aktivitas produktif, seperti belajar dan brainstorming, alih-alih menjadi pelarian emosional.
Dalam kasus di mana penggunaan chatbot sudah mengganggu kehidupan atau menjadi sarana utama pelampiasan tekanan psikologis, konsultasi dengan psikolog atau konselor profesional menjadi langkah yang disarankan.
Chatbot AI menawarkan manfaat besar dalam meningkatkan produktivitas dan akses informasi. Namun, para ahli mengingatkan bahwa teknologi ini tetap memiliki batas. AI tidak dapat menggantikan interaksi manusia yang otentik, empati nyata, serta proses berpikir kritis yang menjadi fondasi pengambilan keputusan.
Kesadaran pengguna menjadi kunci agar teknologi tetap menjadi alat yang membantu, bukan justru menciptakan ketergantungan baru di era digital.

Muhammad Imam Hatami
Editor